blur bg
Saat Debu di Sudut Kamar Mengingatkan Akan Diri Sendiri | Yogyakarta Book Party
Story cover
Profile picture
Muhammad IqbalDitulis pada 25 Mei 2025

Saat Debu di Sudut Kamar Mengingatkan Akan Diri Sendiri

Ada momen-momen dalam hidup yang datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, tapi menggugah begitu dalam. Bukan karena hal-hal besar atau luar biasa, melainkan karena hal-hal kecil yang sepele: debu di sudut kamar, barang lama yang kita temukan tanpa sengaja, atau pertemuan singkat dengan teman lama di sebuah kafe yang nyaris kita lupakan. Semua itu seolah menyadarkan kita, meskipun waktu berjalan terus, tidak semua hal ikut bergerak maju.

Kita hidup di tengah arus cepat dunia modern, di mana perubahan menjadi keharusan. Orang dituntut untuk tahu apa yang ingin mereka capai, punya rencana lima tahun ke depan, dan bertransformasi secepat mungkin. Tapi bagaimana kalau kita tidak punya arah yang jelas? Bagaimana jika kita hanya ingin duduk sejenak, menengok ke belakang, dan bertanya, "Apa yang sebenarnya sedang kulakukan selama ini?"

Refleksi ini biasanya tidak datang dari ruang kelas atau ruang kerja, melainkan dari ruang-ruang paling sunyi dalam hidup kita. Bisa jadi kamar sendiri, bangku belakang bus Trans Jogja, atau bahkan saat berdiri menatap rak buku berdebu yang belum disentuh bertahun-tahun. Di sanalah kadang kita dihadapkan bukan pada masa depan, tapi pada masa lalu yang belum selesai kita pahami.

Benda-benda lama punya cara unik untuk memanggil kembali versi diri kita yang dulu. Catatan harian usang sampai telepon genggam dari masa remaja bisa membuka kotak-kotak ingatan yang selama ini terkunci rapat. Kita bisa tiba-tiba teringat pada keputusan yang pernah kita ambil dengan gegabah, janji yang tidak kita tepati, atau bahkan perasaan yang tidak sempat terucap. Bukan untuk menyesali, tapi untuk memahami siapa kita sekarang dan bagaimana masa depan yang dulu pernah kita bayangkan.

Pertemuan dengan teman lama pun seringkali menjadi pemantik refleksi. Melihat mereka yang sudah punya kehidupan mapan, pekerjaan tetap, keluarga yang hangat, membuat kita secara tidak langsung bertanya pada diri sendiri: apakah aku tertinggal? Tapi hidup bukan lomba lari, dan setiap orang punya jalannya masing-masing. Mungkin, ada dari kita yang masih berjalan pelan, menaapki hidup dengan ragu, tapi bukan berarti kita tidak bergerak.

Yang seringkali terlupakan adalah bahwa setiap orang punya kecepatan yang berbeda untuk sampai pada versi terbaik dirinya. Ada yang menemukannya di usia 20 tahun, ada juga yang baru bisa berdamai dengan hidupnya di usia 40 tahun. Yang penting bukan seberapa cepat, tapi seberapa jujur kita dengan prosesnya. Dan kejujuran itu sering muncul saat kita sedang sendiri, jujur pada rasa takut, pada harapan yang sempat kita kubur, dan pada kerinduan untuk merasa utuh.

Benda-benda lama, kenangan, dan pertemuan tidak datang untuk membuat kita terjebak di masa lalu, tetapi untuk mengingatkan bahwa diri kita adalah kumpulan dari waktu-waktu yang telah kita jalani. Kita adalah kita, yang pernah patah hati, pernah bermimpi besar, pernah salah langkah, tetapi tetap memilih untuk bangun tiap pagi untuk menjalani hari.

Kadang kita lupa bahwa menjadi manusia tidak harus selalu kuat dan punya jawaban atas pertanyaan yang mendera. Menjadi manusia juga berarti bisa bingung, bisa takut, bisa rindu, dan bisa berhenti sejenak untuk mengingat siapa kita sebenarnya. Saat kita membuka kembali lemari tua atau menemukan catatan kecll bertahun-tahun lalu, kita tidak hanya melihat debu, tapi juga melihat diri kita sendiri yang dulu.

Maka tidak apa-apa kalau sesekali kita merasa tersesat. Tidak apa-apa kalau hidup kita belum semapan orang lain. Tidak apa-apa kalau kita masih mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang ingin kita jalani. Karena dalam proses itulah kita benar-benar hidup. Bukan hidup dalam jawaban, tapi hidup dalam pencarian. Bukan hidup dalam hasil, tapi hidup dalam keberanian untuk terus melangkah, sekecil apa pun langkah itu.

Jadi, saat kita menemukan sesuatu yang membuat kita berhenti sejenak dan termenung, entah itu foto lama, kenangan bersama teman, atau benda sederhana di sudut kamar, tak mengapa kita larut dalam refleksi itu. Karena mungkin, dari situlah kita akan menemukan arah. Bukan arah besar yang mengubah dunia, tapi arah kecil yang mengubah pandangan kita tentang hidup.

Dan bukankah itu jauh lebih berarti?

Kos Karangmalang, dini hari 26 Mei 2025

Muhammad Iqbal

Komentar

BARU
-- Tampaknya belum ada komentar --