
Kisah Nekat Alexandra Kollontai: Dari Pabrik Tekstil ke Orator Revolusi
Halo, teman-teman YBP dan semua pembaca!
Di tulisan pertamaku ini, aku mau ngajak kalian menyelam sedikit lebih dalam ke salah satu tokoh revolusi paling keren di awal abad ke-20, yaitu Alexandra Kollontai. Mungkin belum begitu familiar, bahkan mungkin juga bagi kalian yang cukup intens mendalami pemikiran kiri (komunisme-sosialisme), tapi percayalah, perjalanan hidupnya penuh lika-liku yang bakal bikin kita mikir ulang soal arti pengorbanan, politik, dan perjuangan perempuan dalam sejarah. Yuk, simak cerita ini!
Dari Pemikiran Materialisme ke Pabrik Tekstil
Ketika masih muda, Alexandra sangat haus akan ilmu dan ketemu sama gagasan-gagasan revolusioner. Beliau asyik banget membaca teori Marxisme, Leninisme, plus filsafat materialisme dari Georgi Plekhanov. Alexandra juga mempelajari Charles Darwin dan Wilhelm Roscher. Intinya, beliau suka banget melihat fenomena sosial dari kacamata ilmiah.
Karena penasaran, Alexandra gak cuma duduk manis di ruang baca. Beliau benar-benar cewek yang gagah, nyemplung langsung ke pabrik tekstil Kreenholm (sekarang di Estonia) yang punya 12 ribu pekerja. Di sana, beliau merasakan sendiri bagaimana buruh perempuan dan laki-laki diseret-seret oleh ritme mesin dan sistem yang "gak adil banget". Jadi, hidupnya jauh dari glamor, ini bener-bener kehidupan kelas pekerja yang susah, capek, dan penuh ketidakpastian.
Keputusan Nekat Meninggalkan Suami dan Anak
Setelah merasakan pahit-manis kehidupan buruh, Alexandra ngerasa kalau perjuangan kelas pekerja itu bukan sekadar teori. Beliau mutusin secara serius buat belajar ekonomi-politik di Zurich, di bawah bimbingan Prof. Heinrich Herkner.
Uniknya, demi cita-cita ini, Alexandra sampai ninggalin suami dan anaknya. Bayangin, keputusan super-berani (atau nekat?) di tahun 1899 itu: seorang perempuan berhati keibuan, belajar ilmu politik di negara asing. Ini kaya kita tiba-tiba resign dari kerja kantoran, ninggalin keluarga, terus pindah ke luar negeri buat kuliah teori kritis. Gila, kan?
Tapi buat Alexandra, dukungan buat revolusi dan solidaritas internasional lebih penting. Dia percaya kalau hanya lewat pemahaman ekonomi dan politik yang matang, kita bisa membebaskan kelas pekerja.
Balik ke Rusia: Bergabung dengan Gerakan Sosial-Demokrat
Setelah lulus, Alexandra pulang ke St. Petersburg, Rusia. Kota itu lagi goyah: kaum revolusioner bertebaran, tapi Tsar Nicholas II masih ngotot pegang kendali. Beliau langsung gabung Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia yang masih ilegal. Bayangin, betapa beraninya beliau: nulis koran bawah tanah, jadi propagandis, dan ngejar dukungan kaum buruh plus kaum perempuan.
Satu hal yang spesial: Darah Finlandia yang mengalir dalam tubuhnya bikin beliau peduli banget sama nasib Finlandia sebagai "saudara" yang dijajah Rusia. Jadi, selain urusan revolusi internasional, beliau juga mendukung kemerdekaan Finlandia. Keren, ya? Dua perjuangan sekaligus: melawan kapitalisme di Rusia dan mendukung hak nasional Finlandia.
Karya ilmiah pertamanya yang muncul tahun 1903, dengan judul Zhizn' Finliandskikh Rabochikh (The Life of Finnish Workers), membuat para sosiolog ternganga. Karya ilmiah tersebut merupakan kajian komprehensif soal kondisi kerja proletar Finlandia di industri. Ini jadi tanda kalau Alexandra bukan cuma orator, tapi beneran cendekiawan.
Kehidupan Pribadi vs Politik
Kita beranjak ke sisi lain kisahnya. Perihal romantisme atau cinta, Alexandra ogah berbasa-basi. Sepeninggal suami pertamanya, dia sempat mengurus anak, tapi sekali lagi beliau memilih politik di atas segalanya. Menurut Alexandra, kalau hati terikat sama urusan keluarga atau cinta, energi revolusioner bisa "terbuang" buat urusan sekunder.
Buat beliau, cinta kepada sesama manusia diterjemahkan lewat solidaritas kelas, bukan lewat tatanan pernikahan atau keluarga tradisional. Di matanya, ikatan politik dan perjuangan kelas lebih bermakna. Makanya, dia sempat bilang kalau perempuan harus siap berkorban. Kalau perasaan perempuan tertambat pada hal-hal yang bersifat pribadi, dia akan kehilangan makna perjuangan.
Revolusi 1905, dan Popularitas sebagai Orator
Tahun 1905, yang disebut "revolusi pertama" di Rusia, jadi panggung emas buat Alexandra. Dari panggung bawah tanah hingga pertemuan buruh besar-besaran, beliau berorasi tiada henti. Reputasinya melejit sebagai orator yang penuh semangat, energi yang bikin pendengar serasa disetrum ide-idenya.
Sayangnya, di tengah euforia itu, Alexandra sadar akan satu hal: partainya dan kelompok Marxis secara umum di Rusia cenderung kurang peduli soal pembebasan perempuan. Fokus mereka lebih ke penghancuran rezim Tsar dan reformasi ekonomi, sedangkan emansipasi perempuan dianggap "nanti dulu." Alexandra kecewa, tetapi beliau makin termotivasi: baginya, gerakan perempuan harus diperjuangkan seiring dengan revolusi kelas pekerja.
Warisan Emansipasi dan Solidaritas Kelas
Jadi, apa sih yang bisa kita ambil dari perjalanan Alexandra Kollontai? Berikut beberapa poin yang bisa menjadi bahan renungan:
1. Perjuangan itu butuh keberanian ekstrem. Alexandra berani tinggal jauh dari keluarga demi cita-citanya. Kita gak perlu sejauh itu, tapi setidaknya, passion perlu diikuti dengan nyali.
Teori dan praktik harus jalan bareng. Bukan cuma baca buku, tapi turun langsung "menghidupi" kondisi lapangan. Gak melulu teori.
Solidaritas melampaui batas negara dan gender. Perjuangan kelas pekerja itu lintas batas, dan emansipasi perempuan tidak bisa diabaikan oleh gerakan mana pun.
Cinta juga bisa diwujudkan dalam aksi sosial. Konsep "cinta" tidak sekadar romantisme, tetapi juga kepedulian nyata terhadap sesama.
****
Dari pabrik tekstil Kreenholm hingga orasi bawah tanah di St. Petersburg, Alexandra Kollontai menunjukkan satu hal: revolusi bukan sekadar menggulingkan penguasa, tapi juga mengubah pola pikir dan struktur sosial yang mengekang. Beliau mengajak kaum perempuan untuk aktif, berani, dan tidak takut berkorban, karena menurutnya, kebebasan sejati cuma datang kalau kita berani menggenggamnya bersama-sama.
Semoga tulisan pertamaku bisa menginspirasi kita untuk berani berpikir kritis, menegakkan solidaritas, dan siapa tahu ikut menyuntikkan semangat perubahan di dunia nyata. Terima kasih sudah membaca, dan sampai jumpa di artikel berikutnya.
Ditulis dengan sepenuh hati di kos Karangmalang, 18 Mei 2025
Muhammad Iqbal
Komentar
BARUKeren!
Bukan(sampe saat ini) pembaca buku kiri tapi suka tulisanmu mas
Aku suka Ilmu ini 🙌🙌
Kereenn tulisannya
nicee!