Demi Sebungkus Nasi
Hari Jum’at. Sebagaimana umumnya seorang lelaki muslim, punya kewajiban melaksanakan sholat jum’at. Aku ikut melangkahkan kaki ke arah masjid. Sebenarnya aku sangat malas. Inginku tidur saja di kamar kos yang gelap juga dingin, tanpa kasur empuk dan bantal nyaman yang tak mampu kubeli.
Tapi tak mengapa, batinku. Dengan ikut ke masjid, aku bisa dapat nasi jum’at berkah. Baiklah, aku akan ikut sholat jum’at agar dapat nasi. Dompetku juga semakin menipis, meskipun ini belum akhir bulan. Kalau bisa dapat dua bungkus nasi akan lebih baik. Bisa untuk makan malam nanti, yang biasanya hanya kuisi dengan dua butir gorengan pengganjal lapar.
Dalam perjalanan, aku teringat yang diucapkan dosenku tepat sebelum pelajaran berakhir. “Sebentar lagi waktunya sholat jum’at, kita cukupkan dulu materi kita sampai sini. Nanti saya malah dianggap dosen liberal karena tak mau ikut jum’atan.” Ucapannya masih membekas dalam pikiranku. Si dosen mungkin sebenarnya malas untuk sholat jum’at, tapi takut dicap sebagai dosen liberal kalau tak melakukannya. Lantas aku ini dicap sebagai apa? Seorang yang melaksanakan sholat jum’at hanya demi urusan perut?
Sesampai di masjid, aku langsung berwudhu lalu mengambil tempat duduk paling belakang yang masih sepi. Bukan sebab butuh kesunyian agar ibadah khusyuk, keheningan yang bisa membuatku berdialog pada diri sendiri dan akhirnya mengantarku sampai pada Tuhan. Karena kata sufi, “Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.” Ini kudapatkan dalam buku-buku tasawuf yang kubaca. Terkesan sangat klise menurutku. Seolah mengenal diri, mengintip ke dalam hati, itu adalah hal yang mudah. Aku tak tertarik, atau mungkin belum. Buku-buku itu tak pernah lagi kubaca dan akhirnya berdebu. Bahkan sebagian berjamur.
Aku duduk di paling belakang karena dekat dengan pintu keluar yang di sampingnya terdapat nasi jum’at berkah. Jadi, begitu shalat selesai, bisa langsung lari berebutan nasi. Aku akan ambil dua, pikirku. Kalau bisa tiga, atau empat, aku mengoreksi.
Ternyata di depanku ada seorang anak kecil, sekitar umur empat tahun, dan tepat di sebelahnya ada lelaki tak terlalu tua yang kemungkinan adalah bapaknya. Si anak selalu saja membeo dan beradu bising dengan suara khatib di depan. Sontak jamaah menoleh kanan-kiri, depan-belakang, mencari-cari asal cericau burung yang berakal itu. Si bapak yang merasa anaknya mengganggu keheningan berusaha menenangkan anaknya. Sang anak tak peduli apa kata bapaknya, terus meneruskan lantunan dzikir beo-nya.
Sebenarnya aku juga merasa sangat terganggu. Kesabaranku yang setipis tisu memang tak pernah kutampakkan. Seolah aku adalah manusia yang selalu tenang. Pelampiasanku hanya pada imajinasi. Aku membayangkan diriku menggampar muka anak ini. Menjewer mulutnya sembari berkata “Kicauanmu mengganggu, hei bocah!” Lalu si anak akan menangis menggerung, dan bapaknya mendatangiku, melampiaskan emosinya atau mungkin malah membalas dengan pukulan dan serangkaian adegan dewasa lainnya. Kemudian kami menjadi sorotan seisi ruangan.
Aku beruntung itu hanya imajinasiku. Aku memang tak mau mencari masalah; hidup sudah cukup banyak memberikannya padaku, dan aku tak mau menambahnya dengan masalah-masalah yang lain. Sejujurnya aku juga jenuh berhadapan dengan masalah. Karena masalah selalu menuntut solusi. Tapi bahkan sebelum satu usai, yang lain sudah mengetuk pintu. Begitu terus, silih-berganti.
Rangkaian khutbah jum’at usai, iqamah pun dikumandangkan. Jamaah serentak berdiri dan mengatur barisan, yang rapat, agar tak diisi setan. Begitu yang kuingat sewaktu kecil. Namun aku masih tetap duduk dalam tenangku. Mengamati orang-orang yang masih sibuk menata barisan. Saat ada yang melihat, aku pura-pura mengucek mata seperti bangun tidur. Semakin lama semakin banyak pasang mata mengarah padaku dan terpaksa aku harus beranjak dari tempat duduk, dan ikut baris-berbaris seperti paskibra di sekolah dulu.
Takbir dipanjatkan, orang-orang mulai masuk dalam keheningan, khidmat menghadap Tuhan. Allahu akbar, Allah Maha Besar, yang berarti mengecilkan diri di hadapan-Nya. Manusia lemah, tak bisa apa-apa, hanya Dia Yang Maha Kuasa. Tak boleh ada kesombongan sedikitpun seharusnya. Sekali lagi, itu yang pernah kudapatkan dari buku tasawuf yang kubaca. Tapi aku tak pernah punya pengalaman serupa. Tak ada keheningan, apalagi ketenangan. Segalanya bising di kepala. Shalat yang sebenarnya adalah ibadah yang diperuntukkan agar manusia menyempatkan waktunya sebentar saja untuk mengingat Tuhannya. Sialnya, aku terus-terusan teringat nasi yang nanti kuambil berebutan dan saling sikut dengan yang lain.